Minggu, 10 April 2011

Ir Soekarno-Tjilik Riwut, Satu Visi Wujudkan Palangka Raya



Palangka Raya dijadikan ibukota Negara? Wacana itu terus mengemuka belakangan ini, seiring makin sumpeknya Kota Jakarta. Sebagai sebuah wacana, wajar jika kemudian mengemuka berbagai argumen pro dan kontra. 

     Di balik silang pendapat itu, menarik ditilik sejarah berdirinya Kota Palangka Raya, lebih dari setengah abad silam. Lahirnya Kota Palangka Raya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) tak bisa dilepaskan dari sepak terjang dan pemikiran dua tokoh pejuang bangsa.
      Keduanya adalah, Ir Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dan Tjilik Riwut, pejuang sekaligus salah satu penggagas berdirinya Provinsi Kalteng.
      Dalam buku karya Kolonel Inf Judy Harianto yang diberi judul Catatan Seorang Tentara-Mewujudkan Mimpi di Bumi Tambun Bungai, diungkap adanya kesamaan visi antara kedua teladan tersebut.
    Judy Harianto yang merupakan mantan Komandan Korem 102/PJG mencatat, Bung Karno dan Tjilik Riwut memang memiliki kedekatan sejak masa pergerakan mempertahankan kemerdekaan RI.
      Di bab pertama bukunya yang diterbitkan Juni 2009 itu, Judy menerangkan, Bung Karno sebagai tokoh pendiri negeri lebih banyak berjuang melalui jalur diplomasi. Sedangkan Tjilik Riwut lebih banyak terlibat di pertempuran secara langsung, termasuk melawan tentara NICA saat menduduki sejumlah wilayah di Pulau Kalimantan.
     Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, masyarakat di wilayah Kalteng terlambat menerima kabar bersejarah tersebut. Maklum, saat itu memang belum ada fasilitas komunikasi seperti radio, kawat, dan sebagainya di tempat ini.
     Pemerintah RI yang berkepentingan menyebarluaskan  kabar tersebut ke seluruh pelosok negeri lantas meminta Gubernur Kalimantan (saat masih berkedudukan di Yogyakarta) segera berkunjung ke Kalimantan guna menyebarkan berita tentang kemerdekaan.
     Sayang, upaya itu gagal setelah Kapal Merdeka yang digunakan rombongan ditembak pasukan sekutu, 10 November 1945. Beruntung awak kapal selamat dalam insiden itu.
     Disebutkan Judy, dalam misi tersebut, ikut serta seorang anggota satuan palang merah yang merupakan putra Dayak Kalteng asal Katingan. Ia tak lain adalah Tjilik Riwut.
     Saat itu, Tjilik Riwut juga tercatat sebagai anggota ’Lasjkar Anak Seberang’ yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebagai pejuang yang aktif di berbagai organisasi pergerakan, tak mengherankan jika Tjilik Riwut dekat dengan Soekarno, Jenderal Soedirman dan Suryadarma.
     Misi yang gagal tersebut kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi para pejuang menuju Kalimantan dengan sandi operasi “MN 1001 TRI”. Tjilik Riwut dipercaya untuk memimpin ekspedisi itu ke Kalimantan, dengan tujuan menggelorakan semangat perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda.
     Pada 17 Oktober 2010, ekspedisi berikutnya dijalankan. Yakni, operasi terjun payung sejumlah pejuang dengan menggunakan pesawat Dakota RI-2. Tugas memimpin tim yang diberangkatkan ke daerah Kotawaringin ini  kembali dipercayakan ke pundak Tjilik Riwut yang ketika itu berpangkat Mayor.
      Sejumlah pejuang berhasil mendarat dengan selamat di Kampung Sambi, Kotawaringin, ketika itu. Operasi penerjunan payung pertama di Indonesia itu kemudian dicatat dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa. Pemerintah bahkan menetapkan tanggal terjadinya peristiwa itu  sebagai hari jadi Pasukan Khas (Paskhas) TNI-AU.

Rencana Ibukota Negara
      Bertolak dari berbagai peristiwa tersebut, Tjilik Riwut lantas memiliki akses ke pemerintah pusat yang dipimpin Bung Karno. Konetivitas itu digunakan Tjilik Riwut dalam upaya mendukung terbentuknya Provinsi Kalteng. Perjuangan pembentukan provinsi Kalteng agar berdiri dan lepas dari wilayah otonom Kalsel merupakan keinginan seluruh lapisan masyarakat Bumi Tambun Bungai.
     Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, desakan untuk membentuk Provinsi akhirnya disetujui Presiden Soekarno. Keberadaan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai provinsi ke-17 di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, tertanggal 23 Mei 2010. 
      Atas berbagai pertimbangan, akhirnya perwakilan pemerintah pusat serta tokoh-tokoh di daerah sepekat untuk menjadikan Kota Palangka Raya—awalnya hanya dusun kecil bernama Pahandut di tepi Sungai Kahayan—sebagai ibukota provinsi.
     Dari sumber dan literatur lain yang dikumpulkan penulis, Pahandut merupakan daerah paling tengah dari wilayah geografis Provinsi Kalteng. Selain itu, Pahandut juga merupakan desa ke-17 yang ada di sisi Sungai Kahayan, dihitung dari muara sungai.
       Keunikan sekaligus kekaramatan angka 17 bagi masyarakat Indonesia serta Kalteng pada khususnya, hanya merupakan salah satu faktor pendukung penetapan Pahandut sebagai ibukota provinsi.
     Selain itu, terdapat sejumlah faktor pendukung lain hingga Pahandut kemudian ditunjuk sebagai ibukota provinsi. Salah satunya adalah untuk mendamaikan silang pendapat masyarakat Kalteng yang berada di bagian timur dan barat. Kedua kelompok masyarakat di dua wilayah itu mengklaim, wilayahnyalah paling tepat dijadikan ibukota provinsi baru ini. Alhasil, dipilihlah satu wilayah yang berada tepat di tengah-tengah, yakni Pahandut.
      Dusun Pahandut yang kemudian berganti nama menjadi Palangka Raya kala itu memiliki karakter wilayah berupa hutan belantara. Dalam proses penetapan yang kemudian dilanjutkan dengan pembangunan kota inilah kesamaan persepsi antara Ir Soekarno dan Tjilik Riwut terlihat.
      Tjilik Riwut sejak lama memang menyimpan obsesi untuk membuka satu wilayah hutan di Kalteng menjadi daerah yang maju. Dengan berdirnya Palangka Raya, impian itu berhasil ia wujudkan.
      Setali tiga uang, Ir Soekarno juga punya niatan serupa. Sebagai kepala Negara, ia juga berharap pemerintah yang dipimpinnya mampu membangun satu daerah atau kota baru di Indonesia, yang benar-benar dibangun oleh tangan-tangan putra ibu pertiwi.
       Seperti diketahui, sejumlah kota di Indonesia sudah terbentuk jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ada. Ibukota Jakarta misalnya, kota yang cikal bakalnya merupakan kawasan pelabuhan Sunda Kelapa ini sudah ada sejak abad 12 masehi di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
      Dalam kerangka berpikir Ir Soekarno, Palangka Raya tak hanya dibentuk dengan orientasi sebagai ibukota provinsi. Soekarno bahkan memproyeksikan kota ini kelak dijadikan ibukota pemerintahan Indonesia. Pasalnya, dalam sumbu imajiner Soekarno, Kota Palangka Raya berada tepat di tengah-tengah wilayah Indonesia.
      Agar kelak siap menjadi ibukota Ibu Pertiwi, Bung Karno mendesain sendiri tata letak pengembangan Kota Palangka Raya. Latar belakang insinyur yang dimilikinya memudahkan Soekarno untuk mengatur rancangan pembangunan kota.
      Pola jaring laba-laba lantas ditetapkan Soekarno sebagai kerangka dasar pengembangan Kota Palangka Raya. Dalam desain itu, Bundaran Besar dijadikan titik pusat pengembangan kota.
      Judy Harianto menambahkan catatannya, keinginan Ir Soekarno itu bukanlah rencana setengah hati sang kepala negara. Ir Soekarno menunjukkan komitmennya dengan terus memantau perkembangan pembangunan Kota Palangka Raya.
      Bukti keseriusan Ir Soekarno ditunjukkannya lewat dua kali kedatangannya ke Palangka Raya. Pertama, ia datang untuk melakukan penandatanganan dan pemancangan tiang pertama pembangunan Kota Palangka Raya, 17 Juli 1957.
      Kedatangan kedua Bung Karno terjadi pada 9 September 1959. Kala itu, ia datang untuk meninjau khusus proses pembangunan infrastruktur Kota Palangka Raya. saripudin

1 komentar:

  1. Postingan ini merupakan karya jurnalistik penulis yang telah menjalani proses editing untuk versi blog. Tulisan asli pernah diterbitkan di Tabloid DeTAK Kalteng terbitan 14 Juni 2010.
    Mohon tidak mengkopi dan menerbitkannya kembali di media apapun, untuk tujuan apapun, tanpa pemberitahuan kepada penulis.
    Klaim apabila terdapat data dan fakta yang kurang atau berlebihan dapat disampaikan kepada penulis. Kritik dan saran pembaca saya terima untuk penyempurnaan catatan sejarah ini.
    Demikian, terimakasih.

    BalasHapus